Rini, guru Bahasa Indonesia di sekolah dasarku dulu yang terkenal pandai merangkai kata menjadi sebuah prosa, ternyata ibu dari sahabat dekatku waktu SMA, Ayu. What a small world! Aku dipertemukan Tuhan dengan guru masa kecilku lewat sahabatku ini. Saat itu --setelah 10 tahun kelulusan kami tidak bertemu dan bahkan aku tidak pernah berkunjung ke rumah Ayu-- kami berpapasan di pusat perbelanjaan. Ayu yang sedang menuntun putrinya, dan aku menuntun putriku tiba-tiba bertemu muka Sabtu lalu.
"Nona, haaii kamu ngapain disini?" Ayu mengagetkanku dengan pertanyaannya itu.
"Ayu, ini Ayu teman SMA ku, kan? ya ampun kok kita bisa ketemu disini ya. Aku lagi ngajak maen anakku. Kamu sendiri ngapain, Yu?".
Dan kami saling bersalaman dan beradu pipi. Biasa kalau ibu-ibu sudah lama tidak bertemu ya begitu. Lalu kami melanjutkan percakapan di dalam mobil. Aku mengantarkan Ayu dan anaknya pulang. Di perjalanan kami sibuk bercakap kesana kemari. Dimulai dari kenakalan masa-masa sekolah, gebetan waktu di sekolah dulu, guru-guru galak di sekolah kami hingga masalah keluarga baru kami masing-masing. Saking sibuknya, kami tidak menyadari kalau mobil yang membawa kami sudah tiba di kediaman Ayu. Kami turun sambil menggendong anak-anak kami yang masih terlelap selama perjalanan tadi. Begitu aku memasuki rumah Ayu, aku merebahkan anakku di sofa tamu dan Ayu mengantarkan anaknya ke tempat tidur. Sembari menunggu Ayu, aku melihat-lihat foto yang terpasang di dinding ruang tamu rumah Ayu. Kuperhatikan satu persatu foto-foto itu. Lalu pandanganku terhenti pada satu foto masa kecil Ayu dimana ada sosok wanita disampingnya yang ku kenali. Tunggu, bukankah itu ibu Rini, guru Bahasa Indonesiaku waktu SD dulu? Lalu, apa hubungan Ayu dengan beliau?
Tak lama Ayu datang dan menyuguhiku segelas minuman segar dan beberapa toples makanan ringan. Ayu mempersilakanku menyicipi hidangan tamu tersebut. Kemudian aku membuka percakapan dengan Ayu.
"Itu foto siapa, Yu?". Tanyaku sambil menunjuk salah satu foto di ruang tamu.
"Yang mana? Yang ada aku waktu kecil itu, bukan?" Jawab Ayu sambil mengambil gelas minumnya.
"Iya, iya yang itu" Jawabku penasaran.
"Oh, itu Ibuku Na, kenapa? Kamu kenal?" Ayu membalas bertanya padaku.
"Haa? Ibumu? itu Ibu Rini, kan, Yu? Dulu beliau pernah mengajar Bahasa Indonesia di sekolah dasar, kan? Jadi beliau ibumu, ya? Ya ampun, beneran deh aku ga nyangka kamu anaknya bu Rini." Ucapku kaget bercampur antusias.
"Iya, Ibu dulu pernah ngajar di SD. Emangnya kenapa, Na? Jangan bilang kalo Ibu pernah ngajar kamu."
"Haha, ternyata benar ya, dunia ini tak selebar daun kelor. Ternyata guru favoritku dulu itu ibu temanku sendiri. What a surprise!" Ungkapku.
"Humm" Ayu menunjukkan raut sedih.
"Kamu kenapa, Yu? Kok tiba-tiba jadi sedih gitu, ada yang salah, ya?" Tanyaku dengan sedikit ekspresi seperti orang yang merasa bersalah.
" Engga Na, aku sedih aja kalo inget dulu. Dulu Ibuku yang kuat, ceria, tegas dan pintar membuat suasana bahagia sekarang hanya bisa duduk di kursi roda. Ibu terkena stroke Na." Ungkap Ayu lirih.
Aku turut merasa bersedih mendengar cerita Ayu tentang ibunya yang sekaligus guruku dulu itu. Aku juga tak menyangka kalau ibu Rini mengalami kecelakaan yang membuatnya terbaring lama dan tak sadarkan diri hingga akhirnya harus duduk di kursi roda. Mendengar cerita Ayu tadi, aku tak kuasa menahan haru. Lalu aku meminta Ayu untuk mempertemukanku dengan pahlawanku di masa kecil itu.
Kulihat sesosok wanita tua dengan kursi roda sedang lelap dalam tidurnya. Ayu bilang, ibu memang begitu. Ibu tak mau menyuruh anaknya atau siapapun untuk memindahkannya ke tempat tidur kecuali kalau badannya sudah mulai sakit karena kelamaan duduk. Alasannya supaya gampang kemana-mana. Supaya ibu bisa jalan-jalan sendiri tanpa menyusahkan Ayu. Sungguh, bu Rini masih sama seperti dulu. Aku semakin kagum padanya. Akupun tak kuasa mengganggu tidur lelapnya itu. Ku lihat raut wajah bu Rini yang terlihat semakin menua, rambutnya sudah mulai memutih. Kulitnya mulai keriput, tetapi senyumnya masih sama seperti bu Rini jaman aku sekolah dulu. Khas. Seandainya ia terbangun, apakah ia masih mengenaliku? Apakah ia masih mengingatku sebagai muridnya dulu? Apakah ia masih mampu merangkai kata-kata dan membacakan puisi untukku?
Engkau wanita kokoh dengan seuntai senyum itu
Kini kulihat kau terkulai lemah diatas kursi rodamu
Wajah keriput dan rambut putih itu mulai menjadi cirimu
Sedikit ingatanku tentangmu dulu, waktu kau mendidik dan mengajariku
Jika aku boleh memintamu seperti dulu, seperti waktu itu
Aku ingin mengulang kembali masa dimana engkau menjadi guruku
Masa dimana kau memberiku puisi-puisi indahmu
Engkau wanita yang tak pernah membekaskan marah itu
Kini senyummu tak seindah dan selebar dulu
Sakit yang menggerogoti setiap inci tulangmu
Membuat siapapun iba melihatmu
Tetapi aku tahu, kau pasti sanggup melawan sakit itu
Melihat kondisi bu Rini tadi, aku merasa harus memperjuangkan masa mudaku untuk membahagiankan orang-orang disekelilingku. Karena aku tak akan pernah tahu kapan musibah akan datang menimpaku. Aku ingin seperti bu Rini, dalam kesakitannya masih bisa membahagiakan orang-orang di dekatnya. Aku ingin di masa tua ku nanti, aku bisa merasakan ketenangan hati dan jiwa seperti yang bu Rini rasakan. Dan di masa tuaku nanti, aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan orang-orang yang menyayangiku seperti Ayu menyayangi bu Rini. Sejak saat itu, Ayu dan aku semakin intens bertemu. Dan bu Rini pun masih mengenali sosokku sebagai muridnya dulu.
-Tamat-